Label xxx

Senin, 22 September 2025

Sikap Hati-hati 04 BAB 03 Hadzihi Akhlaquna

AKHLAK KITA DALAM KEPEMIMPINAN




Ketiga: Sikap Hati-hati




... إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا
"Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti."

​قَدْ انْقَطَعَ الْوَحْيُ الَّذِي يَكْشِفُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَاذِبِينَ 
Wahyu yang dapat menyingkap orang-orang munafik dan pendusta telah terputus.
وَلَكِنْ لَمْ تَنْقَطِعْ الضَّوَابِطُ الشَّرْعِيَّةُ وَالْأُصُولُ الْإِسْلَامِيَّةُ لِلتَّبَيُّنِ وَالتَّثَبُّتِ
Namun, kaidah-kaidah syar'i dan dasar-dasar keislaman belum terputus untuk memerintahkan sikap tabayyun (pemeriksaan kebenaran dan kejelasan suatu berita, pentj) dan sikap hati-hati.
وَمَا أَحْوَجَ الْمُؤْمِنِينَ وَالدُّعَاةَ قَادَةً وَجُنُودًا لِأَنْ يَتَدَبَّرُوهَا وَيَتَخَلَّقُوا بِهَا
Betapa perlunya orang-orang yang beriman dan para du'at-baik pemimpin maupun prajurit-untuk merenungkan dan mengamalkannya.
​مِنْ أَوَّلِ مَزَالِقِ عَدَمِ التَّثَبُّتِ سُوءُ الظَّنِّ
Salah satu permulaan ketergelinciran dari ketidakhati-hatian adalah berprasangka buruk. 
وَلِذَلِكَ يَقُولُ الْغَزَالِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ
Karena itulah Imam Ghazali berkata,
 لَيْسَ لَكَ أَنْ تَعْتَقِدَ فِي غَيْرِكَ سُوءًا إِلَّا إِذَا انْكَشَفَ لَكَ بِعَيَانٍ لَا يَقْبَلُ التَّأْوِيلَ
"Kamu tidak boleh meyakini orang lain dengan buruk, kecuali jika tersingkap oleh matamu sendiri yang tidak memerlukan penafsiran lagi." Hayah ash-Shahabah, 2/108, al-Bidayah wa an-Nihayah, 4/199. Qasimi 15/0363.

​ثُمَّ يَنْحَدِرُ الظَّانُّ إِلَى مَزْلَقٍ آخَرَ، وَهُوَ إِشَاعَةُ ظَنِّهِ ذَاكَ
Kemudian orang yang berprasangka buruk pun akan cenderung tergelincir lagi untuk menyebarluaskan prasangka buruknya itu.
وَقَدْ نَقَلَ الشَّوْكَانِيُّ عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ قَوْلَهُ
Asy-Syaukani menukil dari Muqatil bin Hayan,
 فَإِنْ تَكَلَّمَ بِذَلِكَ الظَّنِّ وَأَبْدَاهُ أَثِمَ
"Jika dia membicarakan prasangka buruk itu dan menyebarkannya maka dia berdosa." Mahasin at-Ta'wil, karya al-Qasim

وَحَكَى الْقُرْطُبِيُّ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ
Al-Qurthubi juga berkata dari mayoritas ulama,
 أَنَّ الظَّنَّ الْقَبِيحَ بِمَنْ ظَاهِرُهُ الْخَيْرُ لَا يَجُوزُ
"Sesungguhnya, prasangka buruk terhadap seseorang yang secara lahir baik, tidak boleh." Fat-h al-Qadir, karya as-Syaukani 5/64.

وَقَالَ الْغَزَالِيُّ: ( اعْلَمْ أَنَّ سُوءَ الظَّنِّ حَرَامٌ مِثْلُ سُوءِ الْقَوْلِ .. فَلَا يُسْتَبَاحُ ظَنُّ السُّوءِ إِلَّا بِمَا يُسْتَبَاحُ بِهِ الْمَالُ، وَهُوَ بِعَيْنٍ مُشَاهَدَةٍ أَوْ بَيِّنَةٍ عَادِلَةٍ ) (4)
Al-Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa prasangka buruk adalah haram seperti juga perkataan buruk... Maka, prasangka buruk tidak diperbolehkan kecuali dalam soal harta, dengan mata sendiri atau keterangan yang nyata yang adil." Fat-h al-Qadir, karya as-Syaukani 5/64.-ibid-

​يَقُولُ ابْنُ قُدَامَةَ: فَلَيْسَ لَكَ أَنْ تَظُنَّ بِالْمُسْلِمِ شَرًّا
Ibnu Qudamah berkata, "Kamu tidak boleh berburuk sangka terhadap muslim,
إِلَّا إِذَا انْكَشَفَ أَمْرٌ لَا يَحْتَمِلُ التَّأْوِيلَ، فَإِنْ أَخْبَرَكَ بِذَلِكَ عَدْلٌ
kecuali jika sesuatu yang tidak perlu ditafsirkan lagi telah tersingkap. Jika seseorang yang adil memberitahukannya kepadamu,
فَمَالَ قَلْبُكَ إِلَى تَصْدِيقِهِ، كُنْتَ مَعْذُورًا
dan kamu condong untuk membenarkannya, maka kamu bersalah."
وَلَكِنْ أَشَارَ إِلَى قَيْدٍ مُهِمٍّ فَقَالَ. : ( ​بَلْ يَنْبَغِي أَنْ تَبْحَثَ هَلْ بَيْنَهُمَا عَدَاوَةٌ وَحَسَدٌ ؟ ) (۱)
Namun, jika dia mengisyaratkan pada suatu pengikat yang penting dan berkata, "Hendaknya engkau mencari apakah di antara keduanya terdapat permusuhan ataupun kedengkian?" Dari Mahasin at-Ta'wil, 15/5463.

وَيُرْوَى أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ لِرَجُلٍ
Diriwayatkan bahwa Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada seorang laki-laki, 
بَلَغَنِي أَنَّكَ وَقَعْتَ فِيَّ وَقُلْتَ: كَذَا وَكَذَا

"Ada informasi yang datang kepadaku bahwa engkau telah menghina diriku, dan engkau mengatakan, 'Begini dan begitu."
فَقَالَ الرَّجُلُ: مَا فَعَلْتُ. فَقَالَ سُلَيْمَانُ: إِنَّ الَّذِي أَخْبَرَنِي صَادِقٌ
Maka, lelaki tersebut berkata, "Saya tak melakukan hal tersebut." Lalu, Sulaiman berkata, "Sesungguhnya, apa yang disampaikan padaku berasal dari orang yang tepercaya,"
فَقَالَ الرَّجُلُ: لَا يَكُونُ النَّمَّامُ صَادِقًا. فَقَالَ سُلَيْمَانُ: (صَدَقْتَ، اذْهَبْ بِسَلَامٍ.) (2)
Orang itu kembali berkata, "Tukang fitnah tidak akan berkata dengan jujur." Sulaiman berkata, "Benar apa yang kau katakan. Pergilah dengan tenang." Mukhtashar minhaj Qasidhin, hlm. 172.

وَالْفَطِنُ مَنْ يُمَيِّزُ بَيْنَ خَبَرِ الْفَاسِقِ وَخَبَرِ الْعَدْلِ
Fitnah adalah yang membedakan antara berita miring dengan berita akurat (adil),
وَمَنْ يُفَرِّقُ بَيْنَ خَبَرِ عَدْلٍ عَنْ نِدٍّ لَهُ
dan yang dapat membedakan kabar yang akurat dari orang yang memusuhinya,
أَوْ عَمَّنْ يَحْمِلُ لَهُ حِقْدًا، وَبَيْنَ شَهَادَةِ الْعَدْلِ الْمُبَرَّأَةِ مِنْ حَظِّ النَّفْسِ
atau dari orang yang membawa kedengkian terhadapnya. Juga antara kesaksian orang yang adil yang terbebas dari kebahagian diri.
وَمَنْ يُمَيِّزُ بَيْنَ خَبَرِ الْعَدْلِ وَظَنِّ الْعَدْلِ
Atau, kabar yang adil dengan persangkaan yang adil.
وَالظَّنُّ لَا يُغْنِي شَيْئًا
Persangkaan tak ada gunanya sama sekali.
وَمَنْ يُفَرِّقُ بَيْنَ خَبَرٍ دَافِعُهُ التَّقْوَى وَخَبَرٍ غَرَضُهُ الْفَضِيحَةُ أَوِ التَّشْهِيرُ
Juga yang dapat membedakan antara kabar yang didasari atas ketakwaan dengan kabar yang bertujuan membuat sensasi atau untuk membuatnya terkenal.
وَالَّذِي لَمْ يَتَخَلَّقْ بِخُلُقِ (التَّثَبُّتِ) تَجِدُهُ مُبْتَلًى بِالْحُكْمِ عَلَى الْمَقَاصِدِ وَالنَّوَايَا وَالْقُلُوبِ، وَذَلِكَ مُخَالِفٌ لِأُصُولِ التَّثَبُّتِ
Orang yang belum memiliki sikap hati-hati atau waspada, maka Anda akan mendapatinya diuji dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai tujuan, niat, dan hati-hati. Hal tersebut bertentangan dengan pokok-pokok kewaspadaan.
يَقُولُ الشَّافِعِيُّ وَوَافَقَهُ الْبُخَارِيُّ
Imam Syafi'i berkata-dan disepakati oleh Imam Bukhari-
(الْحُكْمُ بَيْنَ النَّاسِ يَقَعُ عَلَى مَا يُسْمَعُ مِنَ الْخَصْمَيْنِ، بِمَا لَفَظُوا بِهِ
"Suatu hukum untuk manusia berdasarkan atas apa yang didengar dari kedua belah pihak yang berselisih, dengan apa-apa yang mereka ucapkan.
وَإِنْ كَانَ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ فِي قُلُوبِهِمْ غَيْرُ ذَلِكَ (3)
Sekalipun mungkin apa yang ada di dalam hatinya bertentangan dengan apa yang dikatakannya. " Mukhtashar minhaj Qasidhin, hlm.175.

وَمِنْ أَخْطَرِ الْمَزَالِقِ أَنْ يُحْسِنَ الْأَمِيرُ الظَّنَّ بِرَجُلٍ مِنَ النَّاسِ لَيْسَ أَهْلًا لِلثِّقَةِ
Keterpelesetan yang amat berbahaya adalah seorang penguasa berprasangka baik terhadap seseorang yang tak dapat dipercaya,
ثُمَّ يَكُونُ أَسِيرًا لِأَخْبَارِهِ، أُذُنًا لِأَقْوَالِهِ، يُصْغِي إِلَيْهِ وَيُصَدِّقُهُ
kemudian ia terpengaruh dengan berita orang yang tak dapat dipercaya tersebut, menjadi pendengar setia akan apa yang disampaikannya, memperhatikan dan mempercayainya.
يَقُولُ ابْنُ حَجَرٍ: (الْمُصِيبَةُ إِنَّمَا تَدْخُلُ عَلَى الْحَاكِمِ الْمَأْمُونِ مِنْ قَبُولِهِ قَوْلَ مَنْ لَا يُوثَقُ بِهِ، إِذَا كَانَ هُوَ حَسَنَ الظَّنِّ بِهِ)
Ibnu Hajar berkata, "Suatu musibah terjadi saat seorang hakim yang tepercaya menerima perkataan seseorang yang tak dapat dipercaya. Bila ia berprasangka baik terhadapnya,
فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَثَبَّتَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ (1)
maka hendaknya ia bersikap hati-hati akan permasalahan tersebut. " Fat-hu al-Baari, 13/175 dari keterangan bab 29 Kitab al-Ahkam. 13/190, Kitab al-Ahkam, Bab 42.

وَمِنْ أُصُولِ التَّثَبُّتِ أَلَّا يُؤْخَذَ أَحَدٌ بِالْقَرَائِنِ، طَالَمَا هُوَ يُنْكِرُ وَلَا يُقِرُّ
Di antara pokok-pokok kehati-hatian adalah seseorang tidak mengambil berbagai perbandingan, selama ia mengingkarinya dan tak memutuskannya.
وَشَوَاهِدُ ذَلِكَ فِي السُّنَّةِ كَثِيرَةٌ، وَمِنْهَا مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
Kesaksian akan hal tersebut dalam Sunnah Rasulullah ﷺ, sangat banyak, di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لَوْ كُنْتُ رَاجِمًا أَحَدًا بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ لَرَجَمْتُ فُلَانَةَ، فَقَدْ ظَهَرَ فِيهَا الرِّيبَةُ، فِي مَنْطِقِهَا وَهَيْئَتِهَا وَمَنْ يَدْخُلُ عَلَيْهَا) (2) 
Rasulullah ﷺ, bersabda, "Seandainya aku merajam seseorang dengan tanpa bukti, maka aku akan merajam wanita ini. Telah tampak di dalam kasusnya tersebut sesuatu yang meragukan, dalam logika dan bentuknya, serta pelakunya," Fat-hu hu al-Baari, 13/190, tab al-Hudud, bab 11-hadits 2073/2559

وَمَعَ ذَلِكَ فَلَمْ يَرْجُمْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِأَنَّهَا لَمْ تُقِرَّ، وَلَمْ يَقْذِفْهَا بِلَفْظِ الزِّنَا
Rasulullah ﷺ. tidak merajam wanita tersebut, karena ia tidak mengakuinya, dan Rasulullah ﷺ, tidak menuduhnya dengan kalimat zina.
وَأَكَادُ أَجْزِمُ أَنَّ أَهَمَّ أُصُولِ التَّثَبُّتِ فِيمَا يُنْقَلُ مِنْ أَخْبَارٍ: السَّمَاعُ مِنَ الطَّرَفَيْنِ
Saya beranggapan bahwa pokok terpenting dari sikap hati-hati adalah apa-apa yang disampaikan dari beberapa kabar, yakni mendengar dari kedua belah pihak.
فَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرْسَلَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ قَاضِيًا، فَأَوْصَاهُ
Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Nasa'i bahwa Rasulullah saw, mengutus Ali bin Abu Thalib r.a. ke Yaman untuk menjadi seorang hakim. Lalu, Rasulullah saw. memberi wasiat kepadanya,
 فَإِذَا جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْكَ الْخَصْمَانِ، فَلَا تَقْضِيَنَّ حَتَّى تَسْمَعَ مِنَ الْآخَرِ، كَمَا سَمِعْتَ مِنَ الْأَوَّلِ، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَتَبَيَّنَ لَكَ الْقَضَاءُ
"Bila datang kepadamu dua orang yang bertikai, maka janganlah engkau mengambil suatu keputusan sebelum engkau mendengar alasan dari pihak lain sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak pertama. Karena hal itu sesungguhnya lebih aman untukmu dalam, mengambil suatu keputusan." Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/82, Kitab (shahih) baris pertama diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

يَقُولُ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: (مَا شَكَكْتُ فِي قَضَاءٍ بَعْدُ)
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata, "Setelah itu, aku tak ragu-ragu lagi dalam mengambil suatu keputusan.
فَكَانَ الصَّوَابُ حَلِيفَهُ بِالتَّثَبُّتِ، وَكَمْ زَلَّتْ أَقْدَامٌ، وَوَقَعَتْ فِتَنٌ بِسَبَبِ عَدَمِ التَّثَبُّتِ
Yang benar adalah melakukan suatu sumpah dengan kewaspadaan. Betapa sering kaki ini tergelincir, kemudian banyak terjadi fitnah karena ketiadaan kewaspadaan."
يَقُولُ الشَّوْكَانِيُّ: (الْخَطَأُ مِمَّنْ لَمْ يَتَبَيَّنِ الْأَمْرَ، وَلَمْ يَتَثَبَّتْ فِيهِ، هُوَ الْغَالِبُ، وَهُوَ جَهَالَةٌ ..)
Asy-Syaukani berkata, "Kesalahan bagi mereka yang tak memahami suatu permasalahan, juga tak bersikap waspada, inilah yang biasanya terjadi, dan ia ini merupakan suatu kebodohan."

وَكَمْ تَجِدُ مِنَ النَّاسِ مَنْ يُسَارِعُ لِلشَّهَادَةِ عَلَى أَمْرٍ لَمْ يَفْقَهْهُ، فِي حَقِّ امْرِئٍ لَا يَعْرِفُهُ
Berapa banyak kita jumpai orang-orang yang terburu-buru memberi kesaksian atas suatu perkara yang belum mereka mengerti dalam hak seseorang yang tak dikenalnya.
وَلِذَلِكَ أَفْتَى الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ تَحَرِّيًا لِلتَّثَبُّتِ
Oleh karena itu, Hasan Al-Bashri berfatwa tentang pentingnya kewaspadaan atau kehati-hatian, 
لَا تَشْهَدْ عَلَى وَصِيَّةٍ حَتَّى تُقْرَأَ عَلَيْكَ، وَلَا تَشْهَدْ عَلَى مَنْ لَا تَعْرِفُ
"Jangan bersaksi atas suatu wasiat hingga dibacakan kepadamu, dan jangan bersaksi atas seseorang yang tak diketahui." Shahih Ibnu Abu Dawud, 2/684 hadits 3057 (hasan).

وَلَيْسَ مِنْ خُلُقِ الْمُتَثَبِّتِ التَّسَرُّعُ وَالْعَجَلَةُ
Bukanlah termasuk akhlak orang yang berhati-hati bila kemudian ia terburu-buru ataupun tergesa-gesa.
وَإِنَّ اللَّهَ، حِينَ أَرْسَلَ خَالِدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لِلتَّحَقُّقِ مِنْ عَدَاوَةِ بَنِي الْمُصْطَلَقِ (أَمَرَهُ أَنْ يَتَثَبَّتَ وَلَا يَعْجَلَ) (2)
Sesungguhnya, saat mengutus Khalid r.a. untuk meneliti permusuhan bani Mushthaliq, Rasulullah saw. memerintahkannya untuk bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Fat-hu al-Baari, 13/144, Kitab al-Ahkam, Bab 15. 

وَلَمَّا أَرْسَلَهُ إِلَى بَنِي جُذَيْمَةَ، لِلتَّحَقُّقِ مِنْ إِسْلَامِهِمْ، فَتَعَجَّلَ فِي الْقَتْلِ، قَالَ اللَّهُ
Saat Rasulullah saw. mengutusnya ke bani Judzaimah untuk membuktikan keislaman mereka, Khalid terburu-buru mem-bunuhnya. Lalu, Rasulullah saw. bersabda,
(اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ)
"Ya Allah aku berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Khalid, " Dari Tafsir Al-Qurthubi 16/205, saat menafsirkan ayat keenam dari surah al Hujurat

بَلْ إِنَّ مِمَّا ذَكَرَ الْقَاضِي شِهَابُ الدِّينِ الشَّافِعِيُّ، فِي كِتَابِهِ (آدَابُ الْقَضَاءِ)
Bahkan disebutkan pula oleh Qadhi Syihabuddin asy-Syafi'i dalam kitabnya Adab al-Qadhi,
وَعَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَتَّضِحْ لَهُ الْحَقُّ تَأْخِيرُ الْحُكْمِ إِلَى أَنْ يَتَّضِحَ
"Hal yang harus dilakukannya-bila belum jelas kebenaran adalah menunda keputusan hukum hingga mendapatkan kejelasan." Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Bab 35, hadits 7189.

قَالَ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ لِآيَةِ التَّبَيُّنِ
Asy-Syaukani berkata, saat menafsirkan ayat tentang Tabayyun,
وَمِنَ التَّثَبُّتِ: الْأَنَاةُ، وَعَدَمُ الْعَجَلَةِ، وَالتَّبَصُّرُ فِي الْأَمْرِ الْوَاقِعِ وَالْخَبَرِ الْوَارِدِ، حَتَّى يَتَّضِحَ وَيَظْهَرَ
"Di antara kewaspadaan adalah bersikap sabar dan tidak tergesa-gesa, teliti terhadap permasalahan yang sedang terjadi dan berita yang datang, hingga seluruhnya menjadi jelas dan akurat." Adabul Qadhi, hlm. 110.

وَإِنَّ سُؤَالَ الْعُلَمَاءِ وَمَشْوَرَتَهُمْ يُسَدِّدُ الْمُتَثَبِّتَ، وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ حَجَرٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ - قَوْلُهُ
Pertanyaan para ulama dan diskusi mereka mendukung orang yang berhati-hati. Ibnu Hajar menukil pernyataan asy-Sya'bi-dengan sanad yang baik,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَأْخُذَ بِالْوَثِيقَةِ مِنَ الْقَضَاءِ، فَلْيَأْخُذْ بِقَضَاءِ عُمَرَ فَإِنَّهُ كَانَ يَسْتَشِيرُ
"Barangsiapa yang hendak mengambil suatu keputusan peradilan, hendaknya ia mengambil keputusan peradilan layaknya yang dilakukan oleh Umar r.a., karena Umar bin Khaththab r.a. memutuskan hal tersebut dengan ber-musyawarah. Fat-hul-Qadir, 5/60, saat menafsirkan ayat keenam dari surah al-Hujurat. 

وَلَا تَخَافُوا مِنَ الْمَشُورَةِ فَإِنَّهَا تُقَرِّبُكُمْ إِلَى الْحَقِّ
Janganlah kalian takut untuk melakukan musyawarah, karena hal tersebut sesungguhnya mendekatkan pada kebenaran." Fathul-Baari, 13/149, dari penjelasan bab ke 16 dari Kitab al-Ahkam.

وَكَثِيرًا مَا يُتَّهَمُ شَخْصٌ بِتُهْمَةٍ، فَيَنْفِيهَا، أَوْ يُبَيِّنُ عُذْرَهُ فِيهَا
Sering terjadi seseorang dituduh dengan suatu tuduhan, kemudian hal tersebut dicabut, karena tampak alasan yang terdapat di dalamnya.
ثُمَّ يَسْتَمِرُّ الْحَدِيثُ عَنْهُ وَالتَّحْذِيرُ مِنْهُ، فَهَلْ هَذَا مِنَ التَّثَبُّتِ؟
Kemudian, pembicaraan tersebut berkelanjutan dan juga diperingatkan, apakah hal ini termasuk daripada kehati-hatian?
إِنَّ حَاطِبَ بْنَ أَبِي بَلْتَعَةَ حِينَ صَدَرَ مِنْهُ إِفْشَاءُ سِرٍّ، طَلَبَ عُمَرُ أَنْ تُقْطَعَ عُنُقُهُ، غَيْرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَمَعَ إِلَيْهِ، حَتَّى إِذَا انْتَهَى قَالَ: (صَدَقَ. لَا تَقُولُوا لَهُ إِلَّا خَيْرًا) (1)
Diceritakan tatkala Hatib bin Abi Balta'ah saat digosipkan bahwa ia menyebarkan rahasia Rasulullah saw., ia meminta Umar bin Khaththab agar memotong lehernya, namun Rasulullah saw. mendengarkan hal tersebut. Ketika Hathib bin Abi Balta'ah mengakhiri pembicaraannya, Rasulullah saw. bersabda, "Benar, janganlah kalian mengatakan padanya kecuali dengan sesuatu yang baik."459 Fat-hu al-Baari, 13/149 dari penjelasan Bab ke 16 dari kitab Al Ahkam 

وَكُلُّ مُسْلِمٍ ظَاهِرُهُ الصَّلَاحُ صَادِقٌ وَلَا نَقُولُ لَهُ إِلَّا خَيْرًا
Setiap muslim pada tampilan luarnya adalah seorang yang saleh dan jujur, dan kita tak boleh mengatakan padanya kecuali dengan sesuatu yang baik.
وَإِلَّا فَإِنَّ الِاتِّهَامَ بِغَيْرِ تَثَبُّتٍ سَبَبٌ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْمَظَالِمِ
Jika tidak, sesungguhnya kebanyakan tuduhan yang tanpa ketelitian menyebabkan banyak kezaliman.
وَلِذَلِكَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَحَدِ أُمَرَائِهِ -عَدِيِّ بْنِ أَرْطَأَةَ أَمِيرِ الْبَصْرَةِ
Oleh karena itu, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada salah satu pejabatnya, Uday bin Artha'ah, Gubernur Bashrah,
فِي قَتِيلٍ وُجِدَ عِنْدَ بَيْتٍ وَلَمْ يُعْرَفْ قَاتِلُهُ
tentang seorang mayat yang ditemukan pada sebuah rumah namun tak diketahui siapa yang membunuhnya.
إِنْ وُجِدَ أَصْحَابُهُ بَيِّنَةً، وَإِلَّا فَلَا تَظْلِمِ النَّاسَ، فَإِنَّ هَذَا لَا يُقْضَى فِيهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Umar bin Abdul Aziz menuliskan, "Bila engkau mengetahui siapa yang melakukannya, telitilah terlebih dahulu. Kalau tidak, janganlah engkau melakukan suatu kezaliman pada manusia, karena hal ini sesungguhnya tak bisa diadili hingga hari Kiamat." Shahih al-Bukhari, Kitab alstitabat al-Murtadin, Bab 9 hadist 6939

بَلْ جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ: (لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لَذَهَبَ دِمَاءُ قَوْمٍ وَأَمْوَالُهُمْ) (3)
Bahkan dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, "Seandainya manusia dihukum hanya berdasarkan tuduhan mereka, maka akan hilanglah darah dan harta dari suatu kaum. " Shahih al-Bukhari, al-Bukhari, Kitab ad-Diyat, dari bab 22

وَإِنَّ الْوَاحِدَ مِنَ الصَّحَابَةِ عَلَى عَدَالَتِهِ كَانَ يُطَالَبُ -فِي الْخُصُومَاتِ- بِإِحْضَارِ شُهُودٍ أَوْ الْإِدْلَاءِ بِبَيِّنَاتٍ، أَوِ الْقَسَمِ
Sesungguhnya, para sahabat Rasulullah saw. sekalipun mereka diakui keadilannya, mereka diharapkan-dalam suatu pertikaian-untuk menghadirkan saksi-saksi, memberikan berbagai penjelasan, atau sumpah.
وَلَمْ تَكُنْ عَدَالَتُهُ لِتَشْفَعَ لَهُ فِي اسْتِقْطَاعِ شَيْءٍ مِنْ حُقُوقِ النَّاسِ، أَوْ مَسِّ أَعْرَاضِهِمْ
Keadilan seorang sahabat tak bisa memberikan syafaat kepadanya untuk mengambil suatu keputusan dari hak-hak manusia, ataupun mengganggu kehormatan mereka.
وَقَدِ اشْتَرَطَ الشَّرْعُ الْبَيِّنَةَ دَفْعًا لِلِاتِّهَامَاتِ الرَّخِيصَةِ -غَيْرِ الْمَسْؤُولَةِ-، لِئَلَّا يُبَادِرَ أَحَدٌ إِلَى اتِّهَامِ أَحَدٍ إِلَّا عَنْ يَقِينٍ
Sungguh, syariat telah mensyaratkan bukti-bukti agar dapat membantah berbagai tuduhan miring yang tak bertanggung jawab, agar seseorang tak terburu-buru menuduh yang lain kecuali dengan keyakinan.
وَلِذَلِكَ حِينَ قُتِلَ صَحَابِيٌّ وُجِدَ بَيْنَ بُيُوتِ الْيَهُودِ فِي خَيْبَرَ، اتَّهَمَ أَصْحَابُهُ الْيَهُودَ فِي قَتْلِهِ، فَطَالَبَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَيِّنَةِ
Oleh karena itu, saat seorang sahabat terbunuh yang ditemukan di antara perumahan Yahudi di Khaibar, para sahabat menuduh kaum Yahudi yang melakukannya. Namun, Rasulullah saw. meminta mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti.
(قَالُوا: مَا لَنَا بَيِّنَةٌ، قَالَ: فَيَحْلِفُونَ)
Mereka berkata, "Kami tak memiliki bukti." Rasulullah saw. bersabda, "Hendaklah kalian bersumpah.”
قَالُوا: لَا نَرْضَى بِأَيْمَانِ الْيَهُودِ (1)
 Mereka berkata lagi, “Kami tak rela dengan sumpah kaum Yahudi." Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsir, Bab 3, hadits 4552.

 فَاضْطُرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدْفَعَ دِيَتَهُ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ، وَلَمْ يَتَّهِمِ الْيَهُودَ بِلَا بَيِّنَةٍ
Maka hal tersebut mendorong Rasulullah saw. membayarkan diatnya sebanyak seratus unta. Beliau tak mau menuduh kaum Yahudi tanpa bukti.
وَلَمْ يَجْعَلِ الشَّرْعُ لِفَاقِدِ الْبَيِّنَةِ إِلَّا يَمِينَ خَصْمِهِ - وَلَوْ كَانَ الْخَصْمُ غَيْرَ ثِقَةٍ عِنْدَ الْمُدَّعِي
Bagi mereka yang tak memiliki bukti, maka syariat me-merintahkannya untuk melakukan sumpah-sekalipun sumpah tersebut tak dapat dipercaya oleh si penggugat.
وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي قِصَّةِ الْحَضْرَمِيِّ الْمُدَّعِي عَلَى كِنْدِيٍّ بِأَنَّهُ غَصَبَهُ أَرْضَهُ
Hal tersebut didukung oleh hadits yang diriwayatkan Muslim dalam kisah al-Hadhrami yang menggugat al-Kindi, Dalam hadits itu disebutkan bahwa ia menyerobot tanahnya,
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْحَضْرَمِيِّ: (أَلَكَ بَيِّنَةٌ؟)
maka Rasulullah saw. bersabda kepada orang Hadhrami tersebut, "Apakah engkau memiliki bukti?"
قَالَ: لَا. قَالَ: (فَلَكَ يَمِينُهُ)
Hadhrami menjawab, "Tidak," Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Hendaknya kamu bersumpah."
قَالَ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الرَّجُلَ فَاجِرٌ، لَا يُبَالِي عَلَى مَا حَلَفَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ يَتَوَرَّعُ مِنْ شَيْءٍ)
Lalu orang Hadhrami tadi berkata, "Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya orang tersebut jahat, tidak peduli akan sumpah yang diucapkannya, dan sama sekali tidak bersikap wara'."
فَقَالَ: (لَيْسَ لَكَ مِنْهُ إِلَّا ذَلِكَ) (2)
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Engkau tak memiliki sesuatu selain itu." Shahih al-Bukhari, Kitab ad-Diyat, Bab 22, hadits no. 6898.

وَلَمْ يَعْتَرِضْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اتِّهَامِ الرَّجُلِ لِخَصْمِهِ بِعَدَمِ التَّوَرُّعِ فِي الْحَلِفِ؛
Rasulullah saw. tak membantah tuduhan orang Hadhrami tersebut atas ketiadaan sifat wara' dalam sumpah yang di-ucapkannya,
لِأَنَّهُ مِنْ كَلَامِ الْخُصُومِ بَعْضِهِمْ فِي بَعْضٍ
karena itu adalah ucapan orang yang bermusuhan antara satu dengan yang lainnya-
كَمَا بَوَّبَ الْبُخَارِيُّ فِي الْخُصُومَاتِ
sebagaimana yang himpun dalam bab kitab Bukhari tentang orang yang bermusuhan.
وَعَقَّبَ ابْنُ حَجَرٍ بِقَوْلِهِ: (أَيْ فِيمَا لَا يُوجِبُ حَدًّا وَلَا تَعْزِيرًا فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنَ الْغِيبَةِ الْمُحَرَّمَةِ) (3)
Ibnu Hajar berkata tentang hal tersebut, "Sesuatu yang tak diwajibkan had atau ta'zir, maka hal tersebut tak termasuk ghibah yang diharamkan." Irwa al-Ghalil, 8/257 dari riwayat Muslim, Kitab al-Iman, Bab 61 hadits 139.

كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: (يَمِينُ الْفَاجِرِ تُسْقِطُ عَنْهُ الدَّعْوَى... وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِلْيَمِينِ مَعْنًى) (4)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar, "Sumpah orang yang jahat menjatuhkan tuduhan, kalau tidak maka sumpah tersebut tak memiliki arti. " Fat-hu al-Baari, 5/73 Kitab al-khushumat, Bab Ucapan permusuhan antara yang satu dengan yang lain. 

وَإِنَّ مِنْ التَّثَبُّتِ: أَنْ تَرْفُضَ الِاسْتِمَاعَ إِلَى النَّمَّامِ، فَقَدْ جَاءَ فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ
Yang termasuk kewaspadaan adalah dengan menolak perkataan penebar fitnah, telah disebutkan dalam Musnad Ahmad,
لَا يَبْلُغْنِي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِي شَيْئًا، فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ
"Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan sesuatu pun tentang sahabatku, karena aku ingin keluar dari sini dengan hati yang lapang." Fat-hu al-Baari, 11/563, Kitab Iman dan Nudzur, Bab 17.

فَلَا تَجْعَلُوا بِطَانَتَكُمْ مِنَ النَّمَّامِينَ
Janganlah engkau menjadikan orang terdekatmu terdiri dari para penebar fitnah.
فَإِنَّ مَنْ وَشَى إِلَيْكُمْ الْيَوْمَ يَشِي بِكُمْ غَدًا
Sesungguhnya, orang yang mengadu padamu hari ini, akan mengadukanmu esok hari.
وَمِثْلُهُ لَيْسَ أَهْلًا لِلثِّقَةِ - لِفِسْقِهِ بِالنَّمِيمَةِ
Orang seperti itu tak dapat dipercaya disebabkan kefasikannya dan karena ia suka merigadu domba.
وَفِي ذَلِكَ يَقُولُ ابْنُ قُدَامَةَ الْمَقْدِسِيُّ
Dalam hal tersebut Ibnu Qudamah al-Muqaddasi berkata,
لَا تُصَدِّقِ النَّاقِلَ، لِأَنَّ النَّمَّامَ فَاسِقٌ، وَالْفَاسِقَ مَرْدُودُ الشَّهَادَةِ
"Janganlah kamu mempercayai orang yang suka menukil suatu omongan, karena penyebar fitnah adalah orang fasik, sedangkan orang fasik tertolak kesaksiannya." Musnad Ahmad, 1/396 Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud, Jami' al-Ushul, 8/452 Hadits 6222, al-Arnauth melemahkan Isnadnya, Ibnu Asyir mengisyaratkan bahwa Syaikhani meriwayatkan maknanya.

فَإِنْ رَكَنْتُمْ إِلَى النَّمَّامِينَ، وَأَصَبْتُمْ إِخْوَانَكُمْ بِجَهَالَةٍ فَلَا تَنْسَوْا أَنْ تُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Jika sekiranya kalian memilih para pengadu domba, kemudian membenarkan saudara kalian dengan kebodohan, maka janganlah lupa bahwa apa yang kalian lakukan nanti akan berbuah penyesalan.

خُلَاصَةُ هَذَا الْفَصْلِ وَعَنَاصِرُهُ
KESIMPULAN

بَعْدَ انْقِطَاعِ الْوَحْيِ لَا بُدَّ مِنْ ضَوَابِطَ لِلتَّبَيُّنِ
Setelah terputusnya wahyu maka diharuskan untuk memiliki bukti-bukti yang akurat.
مِنْ مُنْزَلِقَاتِ عَدَمِ التَّثَبُّتِ
Di antara penyebab hilangnya kehati-hatian adalah:
سُوءُ الظَّنِّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ
Berburuk sangka tanpa bukti.
إِشَاعَةُ هَذَا الظَّنِّ
Menyebarkan prasangka.
الْحُكْمُ عَلَى الْمَقَاصِدِ وَالنَّوَايَا
Menghukumi atas maksud dan niat.

عَدَمُ التَّمْيِيزِ بَيْنَ خَبَرِ الْفَاسِقِ وَخَبَرِ الْعَادِلِ
→ Tak dapat membedakan antara kabar yang berasal dari orang fasik dan kabar yang berasal dari orang yang adil.
إِحْسَانُ الظَّنِّ فِيمَنْ لَا يُوثَقُ بِهِ
→ Berbaik sangka terhadap orang yang tak dapat dipercaya.
مِنْ أُصُولِ التَّثَبُّتِ
Di antara pokok-pokok kewaspadaan adalah:
الِاعْتِمَادُ عَلَى إِقْرَارِ الْمُتَّهَمِ وَلَيْسَ عَلَى الْقَرَائِنِ
Bersandar pada pengakuan yang tertuduh dan bukan berdasarkan pada perbandingan.
الِاسْتِمَاعُ إِلَى الطَّرَفَيْنِ
Mendengarkan ucapan kedua belah pihak.
اسْتِشَارَةُ أَهْلِ الْعِلْمِ
Bermusyawarah dengan mereka yang memiliki ilmu.
عَدَمُ الشَّهَادَةِ عَلَى مَا لَا نَعْلَمُ بِيَقِينٍ
Tak memberikan kesaksian pada sesuatu yang tak kita yakini.
عَدَمُ التَّسَرُّعِ حَتَّى يَتَّضِحَ الْأَمْرُ
Tak bersikap terburu-buru, sebelum permasalahan menjadi jelas.
لَا يَجُوزُ التَّحَدُّثُ عَنْ شَخْصٍ بِتُهْمَةٍ لَمْ تَثْبُتْ عَلَيْهِ
Tak dibolehkan untuk membicarakan seseorang dengan suatu tuduhan yang belum terbukti.
الِاتِّهَامُ بِغَيْرِ تَثَبُّتٍ سَبَبٌ لِكَثِيرٍ مِنَ الْمَظَالِمِ
Tuduhan yang tak disertai dengan penyelidikan yang mendalam, menyebabkan terjadinya kezaliman.
الصَّحَابَةُ رَغْمَ عَدَالَتِهِمْ كَانُوا مُطَالَبِينَ بِالشُّهُودِ وَالْبَيِّنَاتِ
Para sahabat adalah orang-orang yang adil, namun mereka diminta untuk memberikan kesaksian dan bukti.
يَمِينُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ يَدْفَعُ عَنْهُ التُّهْمَةَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثِقَةً
Sumpah orang yang dituduh melindunginya dari tuduhan, sekalipun ia tidak bisa dipercaya.
مِنْ التَّثَبُّتِ عَدَمُ الِاسْتِمَاعِ إِلَى النَّمَّامِ
Di antara kewaspadaan adalah tidak mendengarkan perkataan orang-orang yang suka menyebarkan fitnah.

➖➖➖➖
 
📙📙📙 Sumber :
 هذه اخلاقنا حين نكون مؤمنين

The Most Perfect Habit
Mahmud Muhammad Al Hazandar

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Catatan Silahkan bila ada masukan atau kesalahan - tinggalkan di kolom komentar dalam rangka penyempurnaan.

Dipersilahkan - share

Tidak ada komentar: